Inspirasi

Rezeki yang Diantarkan

Bagi orang-orang yang beriman, poin terpenting dari rezeki bukanlah soal besarannya. Rezeki adalah tentang bagaimana mendapatkan dan memanfaatkannya. Maka seberapa pun jumlahnya, yang paling utama adalah dampaknya; apakah rezeki itu semakin mendekatkannya kepada Allah Ta’ala, atau sebaliknya.

Rezeki, kadang hanya sejumlah tujuh ribu rupiah. Tapi, coba amati bagaimana perjuangan yang ditempuhnya hingga sampai di tangan seorang hamba.

Tersebutlah seorang perantau yang mudik. Enam hingga tujuh jam adalalah lamanya perjalanan yang ia tempuh. Maka saat berangkat dari tempat perantauan di permulaan malam, pada dini harilah ia sampai di kampung yang amat dicintainya.

Rehat sejenak menunggu subuh, kemudian pagi menyapa dengan sumringah. Lelaki perantau itu pun bergegas menyiapkan motor, sebab adiknya harus diantar ke sekolah.

Saking asyiknya bernostalgia dan ngobrol aneka rupa soalan kehidupan kepada adiknya, ia tak peduli pada penanda bensin di kuda besi miliknya itu. Hingga sampai di sekolah sang adik, motor itu masih kuasa tuk melaju.

Rupanya, meski di depan sekolah ada penjual bahan bakar motor yang kini naik-turun tak jelas itu, pemuda ini sama sekali tak tergiur. Anehnya, ia malah menancap gas dan menempuh rute lain untuk pulang.

Luar biasanya, rute yang ia niatkan ini adalah jalanan terjal, banyak batu, dan jarang penduduk; jalan kecil tengah hamparan sawah yang mulai ditanam oleh petani yang; juga tak menentu nasibnya bak bahan bakar motor yang naik turun itu.

Dalam hitungan puluhan menit, saat motor itu telah melewati sekitar satu kilometer; motornya berhenti. Mogok. Bahan bakarnya nol liter. “Duh,” benaknya berkata. Maka, ia pun turun dari jok sepeda motor, lantas didoronglah motor yang baru dibelinya sekitar empat bulan lalu.

Ketika bertemu dengan banyak orang di jalan, ketika masyarakat kampung itu menyapanya dengan ramah, pemuda kurus yang belum berganti bajunya ini pun memberanikan diri bertanya, “Pak, Bu, penjual bensin di mana ya?”

Selepasnya, ia pun sedikit mempercepat langkahnya mengikuti petunjuk warga yang memberinya informasi.

Agak lama. Cukup panjang. Sekitar lima belas menit. Atau, sekira satu kilo meter jarak yang ia tempuh berjalan kaki sembari mendorong motor. Alhamdulillah, mendaratlah ia dengan selamat di sebuah gubuk yang terdapat parkiran botol berjejer bertuliskan angka tujuh ribu.

“Satu liter saja, Bu.” ujarnya singkat. Lalu, diberikanlah selembar mata uang yang mendapat kembalian tiga lembar bergambar seorang kapitan yang memamerkan pedangnya.

Beberapa jenak setelah merapikan tangki bahan bakar dengan menutup dan memasang jok kendaraannya, ia pun melaju dengan kecepatan sedang untuk menempuh perjalanan selanjutnya.

Di sepanjang perjalanan itu, ia berpikir, “Betapa Allah Ta’ala Maha Pengasih. Jauh-jauh dari rantau; belum ganti baju dan sepatu, dengan perjuangan berjalan serta mendorong motor lumayan lama; ‘hanya’ untuk ‘mengantarkan’ rezeki senilai tujuh ribu rupiah yang belum dikurangi modal hingga penjual bensin itu mendapatkan untung.”

Apakah yang demikian ini masih menyisakan ruang dalam hati dan pikiran hingga kita mengkhawatirkan masalah rezeki? Mungkinkah Allah Ta’ala tak berikan ‘gaji’, padahal Dia telah menghidupkan kita? [Pirman]

1 Comment

  • a 8 April 2015

    a

Comments are closed.