Kiyai Haji Muhammad Arifin Ilham sering menyebut istri pertamanya dengan Bidadari Khadijah. Sedangkan untuk istri keduanya, dai kelahiran Banjarmasin ini sering menyebutnya dengan Bidadari ‘Aisyah. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat dan berkah-Nya untuk keluarga beliau. Aamiin.
Dalam beberapa kesempatan kajian yang kami ikuti, dai yang kerap mengenakan busana serbaputih ini mengisahkan bagaimana proses pernikahannya dengan wanita keturunan Aceh ini. Beliau mengaku, Muslimah yang hendak dinikahinya itu baru bertemu satu kali dalam sebuah acara pengajian yang beliau isi.
Lepas beberapa bulan, ketika beliau berniat menggenapkan separuh agama, pendiri Majlis az-Zikra ini bermimpi melihat sang Muslimah di dalam mimpi. Arifin muda pun mengabarkan kepada ibunya. Qadarullah, sang bunda langsung sepakat, padahal sebelumnya ada beberapa orang yang sempat dikenalkan, tapi sang bunda kurang sepakat.
Di antara hal luar biasa yang patut kita jadikan pelajaran ialah keberanian sang dai. Beliau menghubungi sang Muslimah melalui telepon genggam. Hal-hal yang beliau sampaikan dalam perbincangan amat singkat itu adalah niat untuk menikah, meminta si Muslimah untuk istikharah, kemudian menentukan waktu jawaban.
“Saya ingin terbang, tapi hanya punya satu sayap. Jika engkau mau menjadi sayap kedua, istikharahlah. Saya tunggu jawaban lamaran ini esok jam lima pagi.”
Kira-kira, seperti itulah kalimat yang disampaikan oleh sang dai. Kalimat yang lugas. Penyampaian yang langsung ke persoalan. Tidak ada rayu-rayu jahiliyah atau berlama-lama dalam jalinan hubungan yang tidak syar’i lainnya.
Beliau belum pernah sekali pun menyentuh wanita yang bukan mahram, termasuk kepada si wanita yang dilamarnya itu. Sehingga, masih merujuk kepada kisah yang beliau tuturkan, rasanya tak bisa digambarkan ketika keduanya bersentuhan pertama kali setelah akad nikah.
Kini, kita bisa menyaksikan dengan nyata. Betapa berkahnya pernikahan yang diniatkan karena Allah Ta’ala. Kiyai Haji Muhammad Arifin Ilham dan istrinya tumbuh menjadi keluarga yang layak diteladani oleh kaum Muslimin. Istri pertama ini pula yang mengesampingkan perasaannya dan memilih menguatkan diri untuk menaati syariat Islam hingga memberi izin kepada suami tercintanya untuk menikah kedua kalinya.
Sahabat bisa menjadi saksi, betapa poligami itu sangat baik jika dilakukan dengan niat yang benar-benar tulus. Persis seperti nasihat Kiyai Arifin tempo hari, “Dua istri yang akur jauh lebih baik daripada satu istri tapi ribut terus.”
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]