Inspirasi

Tertipu Mahligai Kawan

ilustrasi @puteriayudehearty
ilustrasi @puteriayudehearty

Perjalanan nan gagal seorang ikhwan atau lelaki dalam menempuh impian cintanya sesungguhnya sebuah pelajaran amat berharga. Mulai dari episode merangkai profil ideal calon pendamping hingga perjuangan menata sakinah dalam mahligainya. Cerita-cerita mereka sejatinya penerangan emas buat kita yang belum ataupun tidak mengalaminya.

Dibandingkan ikhwan yang langsung mampu menggaet pasangan ideal dalam satu jurus, saya sering merekomendasikan kepada banyak sahabat yang hendak menggenapkan statusnya untuk membuka mata bijak. Keberhasilan ikhwan tertentu jangan dijadikan patokan buat kita. Sahabat atau orang lain bisa mendapatkan akhwat salehah sekaligus berparas ayu, cerdas, dan keturunan keluarga taat agama. Lantas, kita pun berpikir: mengapa saya tidak boleh? Logis dan normal andai sebagian (besar) ikhwan iri ingin mengikuti.

Sayangnya, kita luput mengukur diri ini siapa. Bukan, bukan berarti yang mampu meraih semua kriteria indah itu otomatis bahagia di dunia. Perjalanan mereka belum selesai. Kenikmatan di dunia bukan ukuran di akhirat. Lagi pula kita tidak melihat bahwa ikhwan yang mendapatkan semua keindahan itu bisa jadi tengah dititipi amanat besar yang kadang kita tidak tahu rahasia di baliknya. Teramat berbeda bobot amanah dari ikhwan yang hanya berjodoh dengan akhwat salehah dengan ikhwan yang berjodoh dengan akhwat saleheh plus ini dan itulah.

Belum lagi kadar kesalehan acap kita abaikan. Kita hanya tahu sahabat kita beruntung mendapatkan ‘bidadari dunia’, tetapi tidak mau tahu bagaimana susahnya perjuangan sebelum menikahinya, yakni merangkai diri semasa bujang agar saleh dan mensalehkan. Ini pelajaran yang luput dicatat para ikhwan pendamba ‘bidadari dunia’.

Di sisi lain, ikhwan-ikhwan yang berjibaku jatuh bangun dalam penolakan (sampai kemudian berhasil mendapatkan jodoh impian) justru berikan banyak pelajaran. Ya, pelajaran soal mengkhidmati penolakan dan pengelakan. Meminang itu siklus penting namun amat biasa berujung kecewa. Mengelola kekecewaannya itulah yang jauh lebih penting. Menarik hikmah dari ‘kegagalan’ dan menghadapinya sebagai sebuah pelajaran. Nah, dari mereka yang berjuang berkali-kali dalam ‘kegagalan’ meminang itulah, kita—selaku sahabatnya—bisa menarik pelajaran.

Menarik pelajaran soal pernikahan utamanya kepada sahabat yang sungguh-sungguh berjuang. Kepada mereka yang sudah ‘bertaaruf tujuh‘ (taaruf yang tidak terhitung bilangannya akibat saking sering berikhtiar) dengan niat ikhlas, insya Allah akan kita dapati benih perenungan dan pelajaran. Bukan belajar berulang dari para penderita cinta tak berbalas indah, lantaran hanya akan memudaratkan kita dalam barisan serupa. Kecuali, sekadar untuk bandingan dan jangan jadi peniru kesekian.

Jadi, jangan alihkan mata hanya kepada sahabat yang langsung ‘tembak‘ atau sekali gayung berikhtiar lantas dapat bidadari surga. Banyak yang terkecoh, sayangnya, dan ingin mengikuti. Padahal, perjuangan teman di samping kamar yang berjibaku berkali-kali dalam meniti indahnya pelaminan justru diabaikan begitu saja. Jangan sampai indahnya perjuangan teman yang ‘gagal’ berjodoh malah kita lihat sebagai permainan contoh buruk berkelakar. Sebaliknya, ‘keberhasilan‘ teman yang sekali incar lantas mampu menggaet bidadari dianggap ayat keberkahan. Salah, sungguh salah mata ini menilai andai demikian. []