Lanjutan dari 5 Kesalahan Fatal Istri (2)
Mengungkit Kebaikan Diri
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah [2] ayat 264, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti (perasaan si penerima).”
Di dalam pernikahan, masing-masing pihak harus bersikap lapang dada dan mengesampingkan egoisme. Ada banyak kebaikan yang didapatkan tatkala masing-masing kita tidak bersikap reaktif terkait persoalan apa pun. Dan ketika reaktif, apalagi untuk hal-hal sederhana yang pokok, maka dampak rusaknya akan sangat signifikan.
Mengungkit kebaikan diri, dalam banyak maknanya bisa amat menyakitkan bagi pasangan. “Dahulu, suami saya bukan apa-apa. Kerjanya gak jelas. Sekolah juga gak terlalu pandai. Setelah menikah dengan saya, dia juga tidak prospektif. Baru setelah berdiskusi dan mendapatkan banyak saran strategis dari saya, dia menemukan kelebihannya, memulai usaha, dan sesukses sekarang ini.”
“Andai bukan karena jasa saya, mungkin dia bukan siapa-siap dan tak tahu kini tengah berada dimana.”
Kalimat di atas mungkin berupa fakta. Kenyataan. Bukan opini apalagi kisah bohong. Tapi percayalah, ketika kalimat itu sampai terucap kepada orang lain apalagi di depan umum, seorang istri telah menyayat hati suaminya.
“Selama ini, suami lemah dalam menafkahi. Kerjanya tidak jelas. Penghasilannya jauh dari makna cukup. Kami sering berhutang, bahkan sering mendapatkan subsidi dari keluarga saya. Semangatnya lemah. Mudah menyerah. Banyak mengeluh. Tidak tahan banting. Mungkin jika tidak dibantu keluarga saya, entah kami makan apa selama ini.”
Mengungkapkan fakta tidak pernah salah. Apalagi jika disampaikan dengan bahasa santun dan saat berdua. Dalam suasana yang menyenangkan, merencanakan kehidupan esok, sembari menikmati kehangatan kebersamaan dengan pasangan.
Percayalah, laki-laki tetaplah laki-laki. Dia sangat tidak suka jika direndahkan. Apalagi, dia bisa dengan mudah menjatuhkan cerai atau kabur dari rumah tanpa pamit, meski itu termasuk perbuatan zalim.
Maka belajarlah menjadi istri yang qana’ah. Insya Allah, dengan qana’ah itulah sang suami akan semakin semangat mengupayakan yang terbaik untuk Anda, anak-anak, dan keluarga besar.
Dalam tahap-tahap tertentu, suami hanya butuh kepercayaan. Bukan dikte. Oleh karenanya, senantiasalah berilmu agar bisa menjadi istri terbaik dan menjadi sarana bagi kebaikan suami Anda.
Bukankah sakinah, mawaddah, dan rahmah yang Anda inginkan ketika pertama kali berniat menikah?
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]
Rujukan: Republika Kamis, 4 Agustus 2016, Rubrik Hikmah