Apakah kita akan menolak menikah hanya karena banyak oknum yang hidupnya bertambah sengsara selepas akad? Apakah kita akan mengeluarkan jutaan dalih penolakan terhadap ikatan halal dan berkah hanya karena satu kasus perceraian tetangga atau keluarga kita? Bukankah ada jutaan hikmah dan keuntungan menikah yang bisa kita jadikan alasan untuk segera menjalaninya?
Lalu, apakah kita akan menolak menikah lebih dari satu kali bagi seorang laki-laki hanya karena ada satu-dua oknum kurang ilmu yang hanya mengikuti keinginan semata? Tetapi, jika pun ianya berpoligami karena urusan ranjang, bukankah hal itu sah-sah saja? Bukankah urusan ranjang yang disalurkan melalui hal yang halal dan berkah jauh lebih menenangkan dan membawa keberkahan hidup bagi masyarakat sekitar di banding jajan sembarangan atau selingkuh yang kian menjamur?
Si Fulan memulai karir sebagai pegawai rendahan di sebuah pabrik. Tetapi, laki-laki kurus ini memiliki semangat tinggi dalam belajar. Seiring berjalannya waktu, ketrampilannya bertambah hingga menjadi ahli. Terus merangkak naik, ia pun berupaya menggapai maqam yang lebih tinggi di tempatnya bekerja dengan terus menerus mempelajari ilmu yang dibutuhkan dalam menjalankan sebuah perusahaan.
Waktu berbilang, usahanya pun membuahkan hasil. Ia berhasil menguasai banyak ilmu secara otodidak. Lalu, ia mengambil ancang-ancang untuk keluar dari perusahaan dan memulai usaha secara mandiri. Qadarullah, usahanya berkembang. Ia pun berhasil mendirikan banyak cabang di berbagai kota.
Kebutuhan pun meningkat. Rumah bagus, mobil lebih dari satu, dan ia menikah lagi. Hingga, sosok pantang menyerah ini memiliki tiga istri. Istri pertama dan ketiga berdekatan lokasi rumahnya, sedangkan istri kedua berada agak jauh. Di luar kota.
Sebab sibuk mengurus ini-itu terkait keluarga dan perusahaannya, ia pun meluputkan satu hal; perhatian pada anaknya. Salah satu di antara mereka sering sakit. Suka melamun, kemudian pingsan secara mendadak. Hingga, badannya kurus, tatapannya kosong.
Lepas dibawa kepada konsultan, sang anak pun menuturkan masalah yang dihadapinya. “Saya,” tutur si anak, “memikirkan bapak dan istri-istrinya.” Cerita pun mengalir tentang banyak hal, hingga dijumpailah titik temu atas masalah yang dihadapi.
Oleh sang konsultan, pihak orang tua pun diminta datang. Hanya ingin berkomunikasi dan melakukan klarifikasi atas kisah yang disampaikan oleh anaknya itu. Beruntung, orang tuanya kooperatif hingga solusi pun bisa didapatkan.
Kini, si anak kembali ceria. Ia mulai diajari dan rutin mendirikan ibadah-ibadah sunnah (shalat Dhuha, dll), dzikir, dan banyak aktivitas positif lainnya.
Karenanya, pelajarilah ilmunya sebelum benar-benar mengambil jalan poligami. Jika memang merasa tak mampu atau tak mau, tak usah mengumpulkan banyak dalih untuk menolak apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Jika alasan ‘konflik meruncing setelah poligami’, bukankah begitu banyak ‘konflik yang berujung cerai’ dalam pernikahan monogami?
Jika demikian, jangan salahkan poligaminya. Salahkan saja diri sendiri, kenapa sombong dan tak mau tundukkan diri tuk menerima apa yang dibolehkan oleh Tuhan. Toh, jika Anda tidak menolak, Anda tidak akan dipaksa untuk melakukan poligami jika takut sengsara karenanya. [Pirman/Keluargacinta]
1 Comment
Comments are closed.