Semua kita akan diperjalankan dengan kisah yang berbeda-beda. Perjalanan panjang kehidupan yang tak bisa disamakan. Ada begitu banyak warna-warni yang membuat pelangi kehidupan makin indah terlihat. Dalam perbedaaan-perbedaan ini, kita harus pandai mengambil pelajaran agar hidup semakin bermakna.
Laki-laki seratus enam puluhan sentimeter ini merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Sosok asli betawi yang kini hidup di sebuah desa di Kabupaten Tangerang ini merupakan pribadi pekerja keras dan kreatif.
Setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, dia memutuskan untuk lanjut ke perguruan tinggi dengan semangat kemandirian. Untuk menyambung ‘nyawa’ mahasiswanya, laki-laki berkulit agak gelap ini tak malu untuk membuat makanan ringan untuk dititipkan di kantin-kantin atau koperasi sekolah.
Selain membuat sendiri, ada juga makanan-makanan ringan semacam lontong, gorengan, dan lain-lain yang dia ambil dari produsennya langsung.
Saat pagi masih buta, dia bergegas mempersiapkan dagangan untuk diantarkan ke sekolah-sekolah yang sudah menjadi targetnya. Setelah itu, dia langsung berangkat ke kampus sampai sore. Sore hari, dia kembali ke sekolah-sekolah untuk mengambil uang hasil jualannya.
Begitu terus. Sepanjang hari hingga ia lulus kuliah.
“Jadi,” kisahnya di tengah lapangan sekolah saat hari menjelang sore di pertengahan Januari tahun ini, “saya sudah biasa kerja dari pagi sampai sore, Mas.” Alhasil, “Saya tidak kaget ketika ada peraturan pemerintah yang mewajibkan guru untuk masuk jam enam lebih empat puluh lima menit dan pulang setelah jam tiga sore setiap hari.”
Kerja kerasnya itu juga ditularkan kepada anak-anak, murid-murid, dan beberapa orang di sekitarnya.
Selain pekerjaan itu, saat masih kuliah, sosok yang kini mengajar olah raga di sebuah sekolah menengah atas di Kabupaten Tangerang Banten ini juga tercatat sebagai pekerja di sebuah sekolah.
“Kalau kata saya sih, namanya penjaga sekolah, Mas.” Kisahnya diiringi senyum khasnya. “Tapi,” lanjutnya menuturkan, “kalau kata resminya sih pegawai Tata Usaha (TU). He he he.”
Setelah lulus kuliah dan bekerja, laki-laki ini melanjutkan pengalaman hidupnya yang tak biasa. Di usianya yang kedua puluh tujuh, dia memutuskan untuk menikah dengan janda beranak tiga.