Jangan membuat masalah yang sederhana menjadi rumit sebab kebodohan diri. Tak perlu mempersulit persoalan yang mudah sebab menuruti anggapan dan sangkaan yang tak berbukti. Mudahkan yang mudah, jangan mempersulit yang sukar. Letakkan segala sesuatu sesuai kadarnya. Jangan berlebihan. Sebab akibat utama dari setiap yang berlebihan adalah keburukan.
Menikah itu mudah. Sebab, tak mungkin Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu yang sukar dijalani oleh makhluk-Nya yang bernama manusia. Meskipun memang ada banyak faktor, tapi amat tak layak jika hal-hal itu dijadikan alasan untuk mempersulit pelaksanaannya.
Di antara bentuk mempersulit diri adalah pikiran bodoh terkait masa depan dengan dalih persiapan, padahal sejatinya merupakan bentuk berpanjang angan, dan hal itu tidak dianjurkan. Pikiran bodoh itu, salah satu bentuknya adalah argumen-argumen kerdil yang diciptakan oleh diri sendiri.
Misalnya, “Bagaimana jika ternyata dia tak sebaik yang dikenalkan?”, “Jika ternyata ia menipuku hanya karena mengharapkan kecantikan/ketampanan, harta, dan nasabku yang terhormat, bagaimana?”, “Andai ternyata dia mengecewakan dan tak sesuai impian-impian yang pernah disampaikannya?”, dan pikiran-pikiran bernada ‘andai’, ‘jika’, ‘ternyata’, dan seterusnya.
Padahal, terkait masalah ini, Islam sudah jauh-jauh hari mengaturnya dengan sangat baik. Dalam Islam, ada dua kiat khusus yang dianjurkan untuk dilakukan oleh seseorang yang hendak menikah; agar mereka tidak kecewa atau menyesali pilihan yang diambilnya itu.
“Tidak akan kecewa orang yang istikharah”, lanjut Nabi, “tidak akan menyesal orang musyawarah,” dan tutup beliau, “tidak akan melarat orang yang hemat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani.
Maka, istikharahkanlah sosok yang diniatkan untuk dipilih menjadi pendamping hidup Anda. Ialah sebentuk ungkapan ketidaktahuan dari seorang hamba kepada Rabbnya Yang Mahatahu. Sebab memang, Anda mustahil mengetahui secara detail sosok yang akan dipilih menjadi pendamping hidup itu.
Karena itu, seseorang melakukan istikharah sebagai salah satu wujud meminta pertimbangan kepada Allah Ta’ala, agar hatinya yakin, pikirannya mantap, dan mengupayakan segala sarana yang memudahkan dalam pelaksanaan niat baik itu.
Jika istikharah sudah tunai didirikan, selanjutnya adalah musyawarah. Mintalah pertimbangan dari keluarga dekat; orang tua, sesepuh, ustadz, ataupun anggota keluarga lain yang memiliki pendapat nan bijaksana.
Dengarkan dengan baik, pertimbangkan dengan hati yang jernih, dan pikiran yang bijaksana; agar Anda bisa mempertanggungjawabkan setiap pilihan yang diambil.
Pasalnya, sebijak apa pun pendapat orang lain, Andalah yang akan melaksanakan dan merasakan langsung atas keputusan yang diambil. [Pirman]
13 Comments
Comments are closed.