Lanjutan dari Beginilah Perlakuan Terbaik Seorang Istri kepada Suaminya
“Aku bereskan perabot rumahku, dan aku siapkan makanan untuknya.”
Istri pun bergegas. Rapi-rapi. Ia tak mau suaminya melihat rumah yang berantakan. Maka, semuanya diletakkan sebagaimana mestinya. Sehingga, ketika suaminya lelah seharian mencari nafkah, ia akan mengalami nyaman sebab mendapati rumah yang bersih, asri, dan tertata rapi ketika tiba di rumahnya. [Pirman]
Tak lupa, sebagai kelanjutan dari air dingin yang sudah diminum suaminya, sang istri pun telah menyiapkan aneka jenis makanan; guna hilangkan lapar yang seharian mendera belahan hatinya itu dan mengembalikan tenaganya. Makanan sederhana yang digemari suaminya itu telah tersedia di meja makan sepasang kekasih surga itu. Nikmat.
“Kemudian, aku berdiri menunggunya dengan pakaian terindah.”
Ia mengintip di balik pintu dengan dandanan terbaik. Tak perlu mewah, asal bersih dan rapi. Dengan sedikit wangi, ia mendongakkan kepalanya sesekali. Dengan harap dan cemas serta doa nan tulus, ia antusias menunggu suaminya itu.
Dan, ketika suaminya terlihat dari kejauhan, dirapikanlah pakaiannya. Berdiri tegak dan santun; lalu menjawab salam, melempar senyum, menyalami dan mencium punggung tangan suaminya, merengkuhnya dalam peluk hangat, kemudian dibereskanlah barang bawaan suaminya itu, sepenuh hati.
“Apabila suamiku mengetuk pintu, aku menyambutnya bak pengantin baru yang merindukan kekasihnya.”
Inilah sambutan terbaik. Bak pengantin baru; sentuhan pertama, lembutnya perlakuan, malu-malu nan mendebarkan, dandanan paling memesona, wangi terbaik, penerimaan paling tulus, dan pasrah yang sempurna.
“Apabila dia ingin istirahat, aku membantu mempersiapkannya.”
Ia memahami suasana dan selera pangerannya itu. Bahwa sang kekasih butuh variasi yang disesuaikan dengan keadaan dirinya. Maka, ia pun pandai membaca suasana, atau bertanya lembut. Kemudian, jika yang dimaui suaminya adalah rehat, sang istri pun bergegas mempersiapkannya; air hangat untuk mandi, pakaian terbaik, dan kamar yang rapi mewangi. Semuanya tersedia.
“Apabila dia menginginkanku, aku akan di pangkuannya layaknya anak kecil yang asyik bermain bersama ayahnya.”
Lepas bertanya, dan suami menginginkannya, ia pun bergegas; bermanja dan mengikuti semua yang diinginkan suaminya. Ia pun ‘menyerahkan’ diri dan mengimbangi selera sang suami. Hingga, keduanya larut dalam aktivitas penghuni surga; menikmati dengan mensyukuri setiap jenak nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Keduanya bertasbih dalam nikmat yang tak terlukiskan. [Pirman]