Di dalam salah satu nasihat-nasihat emasnya, Dr ‘Aidh al-Qarni mempersembahkan nasihat ini kepada Muslimah di mana pun berada. Baik ia yang sudah menikah, sedang dalam proses, atau belum ada calon. Hendaknya nasihat dari penulis buku best seller La Tahzan ini diperhatikan dengan saksama. Pasalnya, jika para Muslimah melakukan ini, “Dia mengancam dirinya sendiri dengan perceraian atau kegagalan hidup dan kesia-siaan.”
“Istri yang tak mau berlelah-lelah memperhatikan suaminya,” tulis beliau sebagaimana dikutip oleh Sulthan Hadi dalam Majalah Tarbawi edisi 256, “enggan mengurusi dirinya sendiri dengan baik, tidak merawat rumahnya, dan mengabaikan urusan-urusan rumah tangganya, adalah wanita yang tidak akan mendapatkan bagian kesuksesan.”
Sebab tak berhak atas kesuksesan, maka kegagalan adalah kepastian baginya. “Dia,” lanjut ulama yang produktif menulis dan berdakwah ini, “mengancam dirinya sendiri dengan perceraian atau kegagalan hidup dan kesia-siaan.”
Demikian itulah kesuksesan. Ianya bukan barang instan yang bisa didapatkan tanpa pengorbanan. Ada harga yang mahal, perjuangan yang amat sukar, dan waktu yang lama untuk mendapatkannya. Ianya tidak bisa didapat dengan santai, leha-leha, apalagi lalai dan abai terhadap semua yang diwajibkan kepada kita.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan makna kesuksesan itu sendiri, “Makna kesuksesan adalah; mengerjakan kewajiban dengan sempurna, mengemban tanggung jawab, jeli dalam melakukan pekerjaan, membuat hati menjadi ridha, menghormati orang lain, menekuni keahliannya, sabar terhadap kelelahan, tidak menuruti nafsu yang mendorong pada keburukan, setan, hawa nafsu, dan orang-orang yang berbuat keburukan.”
Dalam konteks pernikahan, memangnya ada yang benar-benar enak dan menyenangkan? Bukankah atas semua itu ada harga mahal yang harus dibayarkan? Dan, jika bukan karena surga dan ridha-Nya, adakah semua kesulitan-kesulitan dalam pernikahan itu sanggup diperjuangkan oleh seorang muslimah bernama istri?
Adalah kelelahan yang dahsyat; seharian mengurusi suami, anak-anak, rumah, dan segala macam kesibukan yang tak pernah habis. Mencuci, memasak, berbelanja, bersih-bersih; adalah aktivitas-aktivitas yang terus terulang. Bahkan, dalam sehari, aktivitas-aktivitas itu bisa terulang berkali-kali. Lalu, berapa jumlah pengulangan jika hitungannya adalah pekan, bulan, tahun, bahkan puluhan tahun?
Cukupkah cinta menjadi alasan seluruh pengorbanan itu? Tidak! Ianya hanya bisa dinikmati sebagai salah satu episode perjuangan seorang hamba dalam menjalankan perintah Allah Ta’ala dan sunnah Nabi-Nya. [Pirman/Keluargacinta]