Ada saatnya ketika pernikahan bahagia berubah menjadi hidup yang amat menyiksa. Bulan madu telah kelar, bunga mulai berduri, angin sepoi berubah menjadi badai, bahkan terang cahaya berangsur menjadi gulita nan mencekam. Sebenarnya, perubahan hanyalah siklus. Hanya saja, ada begitu banyak pasangan yang kurang sabar dan ingin segera mengakhiri ujian yang dihadapinya.
Tangis wanita ini tak kunjung mereda. Beban hidup seakan menggelayut manja di pundak, pikiran, dan hatinya; enggan beranjak, bahkan semakin bertambah. Upaya teknis sudah diupayakan, tapi masalah justru bertambah seiring berkurangnya kadar dan kualitas optimis dan baik sangkanya kepada Allah Ta’ala.
Mulanya, ia diuji dengan suaminya yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Bolak-balik ke banyak tempat, tapi nihil. Semakin sering mencoba, lak-laki agak gemuk yang menjadi imamnya itu justru semakin banyak mendapati kegagalan. Nasib baik, dalam pikiran sepasang suami-istri ini, seakan tak berpihak padanya.
Ketika akhirnya mendapatkan pekerjaan, rupanya masalah berganti. Gaji stagnan, sementara kebutuhan rumah tangga meningkat. Anak-anak lahir, membesar, biaya kesehatan, pendidikan, dan banyak hal lainnya. Saat itu, sepasang insan yang dimabuk cinta ini terlihat gagah menghadapi badai masalah. Bahkan, mereka semakin kencang berpelukan, seraya saling menguatkan.
Waktu berlalu, anak terus bertambah. Masalah pun semakin besar. Muasalnya, saat si istri dilanda sakit. Otomatis, seiring berkurangnya jatah umur, tingkat kecantikan wanita itu pun mulai luntur, memudar, dan seakan hilang. Mirisnya, sosok yang tadinya cantik ini berubah menjadi jelek, bukan di mata orang lain, tapi dalam pandangan laki-laki yang seharusnya mencintai dan membesarkan hatinya itu.
Sang suami, tak bisa menyembunyikan rasa bosannya terhadap istri. Apalagi, saat itu, usia laki-laki ini memasuki puber kedua, sehingga kebutuhan biologisnya pun meningkat, bukan malah menurun.
Bagi sang istri, saat sakit itulah dirinya butuh penguatan lebih. Ia berharap, suami ada untuk dirinya sepanjang hari, di setiap waktu. Inginnya, sang suami senantiasa melayani; mendapatkan senyum manis setiap pagi hingga malam, lalu berada dalam rehat malam nan menentramkan dalam balutan pelukan penuh cinta.
Sayangnya, ingin hanyalah ingin. Sama sekali hanya mimpi. Tak ada wujud sedikit pun. Sang suami justru menjauh. Seperti abai, melupakan nafkah, bahkan mulai terdengar suara tak sedap dari tetangga kanan-kiri.
Sang istri, sejatinya masih bisa tersenyum dan berbaik sangka. Masalahnya, saat mengetahui perubahan sang suami secara drastis ini, ia pun tak terlalu kuat untuk menepis buruk sangka yang hinggap di pikirannya; mungkinkah suamiku ‘jajan’? Atau, sudah nikah siri? Jika tidak, kepada siapa dia memenuhi kebutuhan biologisnya? Bukankah tengah alami puber? Dan, dia menolak ajakanku.
Sang istri pun dihadapkan pada imajinasi masa lalu; padahal, aku yang mencarikan pekerjaan untuknya. Padahal, akulah yang membanting tulang dan memeras keringat saat hidup kami susah. Dan, kini, ia menikam dari belakang, saat aku sakit, dan karirnya tengah menanjak.
Ya Allah… Berikan kesabaran dan kekuatan kepada kaum Muslimin yang tengah diuji dengan pasangannya, apa dan bagaimana pun bentuknya. [Pirman/Keluargacinta]