Seorang suami berkisah di akun media sosialnya. Ia mengeluhkan istrinya. Berdasarkan versi sang suami, istrinya malas. Tidak pernah dandan. Penampilan awut-wutan. Anak-anak tidak terurus. Padahal, istrinya tidak bekerja. Hanya ibu rumah tangga. Karenanya, setiap kali pulang dari kantor, sang suami menyaksikan istrinya sebagai sosok yang mengerikan; jangankan dilirik, baunya saja sudah membuat seorang laki-laki berlari kocar-kacir ketakutan.
Dengan tanpa menafikan atau membenarkan seketika keluhan sang suami yang kami kutip dari sebuah laman sosial, mari sejenak berhenti untuk mengevaluasi hubungan cinta antara suami dan istri, berapa pun usia pernikahan yang tengah kita jalani.
Umumnya, seorang suami selalu menuntut. Alhasil, sang istri pun merasa menjadi pihak yang dituntut. Suami merasa telah melakukan yang terbaik agar tuntutannya tercapai, tapi sang istri merasa dituntut terus tanpa diberikan fasilitas yang memadai agar bisa menjalankan apa yang dituntutkan kepadanya itu.
Jika begini, alamat yang akan dituju adalah ketidakpuasaan, jengkel, marah akut, ribut kecil, berantem berkepanjangan, dan ujung cerai nan menyakitkan. Jika sudah begini, siapa yang kudu disalahkan?
Siapa pun kita saat ini, sebagai suami atau istri, hendaknya melakukan kontemplasi yang mendalam terkait hal yang nampak remeh ini.
Jika kita adalah suami, cobalah berkaca dengan bertanya pada hati masing-masing. Apakah kita sudah mempraktikkan apa yang kita tuntutkan kepada istri? Apakah ketika kita meminta istri berdandan untuk kita, sudahkan kita berhias untuk istri yang kita sayangi itu?
Apakah saat meminta istri memesona dalam balutan pakaian keindahan dan perangai lembutnya, sudahkah diri ini menebarkan pesona dengan pakaian rapi, wewangian, dan halus dalam setiap bulir kata kepada wanita yang kelak menjadi ibu dari anak-anak kita itu?
Jika pertanyaan-pertanyaan ini sudah dilontarkan dengan baik, dan kita berupaya sekuat tenaga untuk menjawabnya, kelak kita akan memahami satu hal; bahwa istri adalah cerminan dari suaminya.
Ketika kita berupaya sebisa mungkin berhias dengan sesuatu yang bisa dilakukan-mandi bersih, memakai sabun, menggosok gigi, pakaian rapi, sisir rambut dengan sedikit minyak, dan senyum sumringah serta kalimat yang teduh-, percayalah bahwa istri pun akan dengan suka rela memantulkan pesona yang kita tampilkan.
Setelah itu, saksikanlah keanggunan istri Anda satu-satunya itu; dengan balutan kerudung yang panjang, pakaian syar’i menutup badan, riasan tipis dan sedikit warna di wajah, aroma wangi lembut merasuk ke dalam pikiran, dan kalimat lembut dan halus yang meloncat lincah dari lisan yang biasa menyebut nama-Nya, “Mas, kamar sudah siap. Mau makan dulu, atau ‘tidur’ sekarang juga?”
Dalam jenak, sebelum Anda menjawab sesuai keinginan, rupanya ada yang mendahului, “Umi, makan dulu aja. Adik sudah lapar ni.” Duh! [Pirman]
1 Comment
Comments are closed.