Poligami sebagai salah satu sunnah yang dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak bisa dihilangkan dari kajian dan diskusi kaum Muslimin. Poligami harus dilihat secara jujur, sebagaimana diajarkan oleh Sang Nabi teladan zaman.
Pada masa jahiliyah, beristri lebih dari satu sudah menjadi kebiasaan orang-orang di berbagai belahan dunia. Sayangnya, tindakan itu bermuatan negatif karena bersifat eksploitatif terhadap kaum hawa.
Banyak istri diperlakukan tidak adil, dizhalimi, bahkan dikhianati dan diperlakukan dengan sangat buruk. Sebagian diantara mereka hanya dinikmati, lalu tidak dipenuhi kebutuhannya di bidang ekonomi, sosial, pendidikan hingga ruhani.
Islam sebagai agama yang paripurna hadir untuk mengurusi semua hajat kehidupan umat manusia. Soal poligami, Islam tunai mensyariatkan di dalam al-Qur’an dan seperti yang diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.
Persoalan poligami semakin benderang ketika para ulama shalih dan takut kepada Allah Ta’ala turut menerangkan dalam kitab dan ceramah-ceramahnya.
Salah satunya sebagaimana dilakukan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaidul Khatir. Beliau menyebutkan ciri-ciri suami yang sebaiknya berpoligami dan siapa yang lebih baik tidak berpoligami.
“Apabila seorang suami bisa beristri lebih dari satu, lalu ia menambah jumlah istri (sesuai yang disyariatkan Islam), dan meyakini bahwa tindakannya tersebut akan membuatnya lebih bisa berkonsentrasi beribadah, maka beristri lebih dari satu adalah sesuatu yang lebih baik baginya.”
Imam Ibnul Jauzi memahami betul akan adanya laki-laki yang berkemampuan memiliki istri lebih dari satu, baik karena kemampuan fisik, kekuatan berhubungan, kecenderungan pikiran, dan kualitas ruhaninya.
Namun demikian, beliau juga memahami adanya faktor penting yang kerap dilupakan oleh kaum adam saat hendak mengambil tindakan poligami dalam kehidupannya. Ialah faktor ibadah.
Maka amat penting bagi setiap laki-laki yang hendak memutuskan menikah lebih dari satu. Apakah ibadahnya akan semakin kuat, hebat, dan berkualitas setelah berpoligami?
Apakah puasanya akan semakin berkualitas? Akankah shalat sunnahnya semakin khusyuk sebagai penyempurna shalat wajib? Akankah semakin intens dalam berinteraksi dengan al-Qur’an al-Karim? Apakah akan semakin peduli dengan sesama Muslim dan umat manusia?
Jangan-jangan, niat poligami hanya karena keinginan hawa nafsu yang penuh dengan bisikan iblis terlaknat. [Keluargacinta/Pirman]