Ada godaan yang berat dalam mempertahankan pernikahan. Ada begitu banyak rintangan yang ditebarkan setan agar seorang suami menceraikan istri-istrinya, atau bisikan dan godaan agar seorang istri mengajukan opsi cerai kepada suaminya. Pasalnya, perceraian menjadi proyek terbesar iblis dan bala tentaranya.
Namun, berkaca dari kehidupan agung Nabi dan para sahabatnya, ada kondisi-kondisi yang menjadikan cerai sebagai satu-satunya opsi yang harus ditempuh. Hal ini, setidaknya, bisa kita simpulkan dari dua riwayat berikut ini.
‘Ubaid bin Harits adalah suami dari budak wanita bernama Barakah. Sang istri menjadi budak milik ‘Abdullah bin ‘Abdul Muthalib, ayah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sepeninggal ‘Abdullah, Barakah pun resmi menjadi ibu asuh bagi manusia paling mulia itu. Dengan cinta dan kasih sayang yang penuh, wanita ini merawat Muhammad kecil hingga menjadi Nabi.
Ketika risalah kenabian turun, Barakah mengimani anak asuhnya itu tanpa tapi. Langsung ikrarkan dua kalimat syahadat, Islam pun resmi menjadi agama barunya. Malangnya, ‘Ubaid enggan mengikuti agama yang dianut istrinya. Akhirnya, keduanya pun bercerai. Keimanan sang istri yang terkenal dengan sebutan Ummu Aiman ini pun memaksanya untuk berpisah dengan sang suami.
Tak beda dengan nasib pasangan Ummu Aiman dan ‘Ubaid bin Harits, kisah serupa pun dialami oleh wanita shalihah bernama Ummu Sulaim. Sosok terjamin surga ini langsung mengimani Nabi. Setelahnya, ia pun mendoktrin anaknya untuk mengikuti ajaran Allah Ta’ala dan Rasul-Nya yang mulia. Sang anak yang tak lain adalah Anas pun mengikuti ibunya, bahkan ianya menjadi satu di antara sekian banyaknya sahabat utama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sayangnya, sang suami bersikap sebaliknya. Ia menolak Islam. Ia tak rela mengikuti ajaran yang dianut istrinya. Hingga, kemarahannya saat pergi dari rumah pun membawanya kepada ajal, lantaran di jalan bertemu dengan musuhnya. Ia mati sesaat setelah menolak Islam yang ditawarkan oleh istri yang mencintainya itu.
Jelas sudah, cerai menjadi sebuah pilihan, bahkan harus diambil ketika iman dan Islam tak kuasa menyatukan dua sosok manusia dalam mahligai suci bernama pernikahan. Kriterianya jelas; dakwahi pasangan, terus-menerus, sabar. Jika tetap menolak, tak ada kompromi dalam hal aqidah. Sepahit apa pun, secinta apa pun, tak perlu lagi dilanjutkan.
Jika cerai lantaran alasan ini, insya Allah hasilnya kebaikan. Bahkan, dalam dua kisah di atas, masing-masing wanita shalihah ini mendapatkan ganti suami yang lebih baik.
Ummu Aiman dinikahkan oleh Nabi dengan Zaid bin Haritsah, pembantu Rasulullah dan sahabatnya yang mulia. Lalu dikaruniai anak, dan keduanya-anak dan suaminya-wafat dalam keadaan syahid di medan jihad.
Sedangkan Ummu Sulaim, ia menjadi shahabiyah pengukir sejarah saat mau dinikahi Abu Thalhah dengan mahar keislaman sang suami. Dari pernikahan keduanya, lahirlah sembilan anak yang semuanya penghafal al-Qur’an. Abu Thalhah pun bersikap baik kepada Anas bin Malik, meski hanya sebagai anak tiri. Kepada mereka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam janjikan surga.
Nah, selain dua alasan di atas, sebaiknya berpikirlah sebanyak dan sekomplit mungkin. Jangan gegabah. Sebab, cerai menjadi perbuatan halal yang dibenci Allah Ta’ala. [Pirman/Keluargacinta]