Barangkali ini adalah tulisan untuk meluruskan adanya pendapat parsial tentang pernikahan. Ada banyak saudara-saudara kita yang melihat pernikahan dengan sebelah mata atau bahkan sambil memejamkannya, tanpa mau menyaksamai dengan menyeluruh.
Alhasil, parsialnya sudut pandang yang digunakan ini berakibat fatal. Dalam tahap kritis, sebab keparsialannya itu, cerai adalah akibat terburuk saat pernikahan baru berumur jagung. Mengenaskan, bukan?
Cara kerja pandangan ini ada pada perbedaan drastis antara ekspektasi dengan fakta. Ketika keduanya berbeda amat jauh, kemudian pelakunya tak bisa menyikapinya dengan bijak, biduk pernikahan itu pun bisa langsung hancur meski angin dan ombak yang menghampiri amat jauh dari kriteria tuk layak disebut badai.
Umumnya, keparsialan pandangan yang berujung pada salah paham ini terdapat pada tiga tempat. Sebelum, ketika dan setelah menikah. “Sebelum” bisa bermakna jauh-jauh hari atau mendekati, “ketika” adalah msa dimulainya akad nikah dan beberapa waktu setelahnya, sedangkan “setelah” merupakan masa ketika biduk rumah tangga telah berjalan melalui berbagai pelabuhan kehidupan.
Sebelum Pernikahan
Menikah itu indah. Ia adalah paduan antara taman, bunga, buah, pelangi, bahagia, sumringah, gembira dan sejenisnya. Menikah adalah tentang bulan madu, makan berdua, saling suap, selimut dalam sunyi, tidur tak lagi sendiri, perhatian tanpa batas dan madu-madu lainnya.
Pandangan-pandangan sejenis ini, sama sekali tak salah sepenuhnya. Hanya saja, mereka tak sisakan ruang kecewa di dalamnya. Alhasil, semua pendapat, imajinasi dan pandangan tentang menikah hanya tentang satu kata: bahagia. Padahal faktanya tak selalu seperti itu.
Pernikahan amat picik jika hanya dimaknai dengan satu kata bernama bahagia.
Ketika Pernikahan
Hari ini, kedua insan serasa menjadi Raja dan Ratunya. Diperhatikan seluruh yang hadir, menjadi bahan perbincangan, senyum menghias bibir, tergambar dalam rona wajah dan gerak tubuh. Ditambah dengan hiasan yang enak dilihat, aroma yang nyaman di-indra dan suara pengiring yang membuat semua hadirin betah tuk tak beranjak. Sempurna.
Suasana bahagia sehari-semalaman itu pun bertahan hingg beberapa pekan. Apalagi dalam romantisme pengantin baru yang biasanya bertahan dalam hitungan bulan, meski ada yang tetap bisa menjaganya hingga usia pernikahannya berbilang puluhan tahun.
Setelah Pernikahan
Barangkali, bulan madu harus segera berlalu. Ketika kedua pasangan langsung dikaruniai anak, maka tak ada lagi waktu bermalas-malasan, apalagi sekadar tidur-tiduran. Ada anak yang harus dipenuhi kebutuhannya selain istri yang harus diberikan haknya. Seiring berjalannya masa, harus pula dipikirkan tentang rumah bagi kediaman dan kebutuhan pokok lainnya yang tak bisa ditawar.
Belum lagi percikan masalah lain yang mustahil untuk dibincang satu persatu. Tentang pasangan hidup yang ternyata egois dan pemarah, misalnya. Pasangan yang tak sebaik perkiraan sebelumnya, mertua dan keluarga pasangan yang awalnya memang asing dan butuh banyak penyesuaian, serta tetangga-tetangga baru dan banyak lagi persoalan lainnya.
Ketika pun, misalnya, dalam waktu yang lama kedua pasangan tetap belum dikaruniai buah hati, tentulah hal itu menjadi masalah lain. Komentar keluarga pasangan dan tetangga terkait kemandulan diri atau pasangan kita, tidak harmonis, dan lain sebagainya.
Tentu, persoalan tak berhenti sebab banyak hal yang memang harus diselesaikan. Apalagi keberadaan keturunan dalam rumah tangga adalah harapan kebaikan yang dengannya bisa memperbanyak keturunan seeorang.
Begitupun dengan persoalan-persoalan lainnya yang akan senantiasa ada dalam perjalanan pernikahan sepasang manusia. Barangkali, masalah-masalah itu pula yang menjadi salah satu alasan mengapa menikah dijanjikan pahala yang banyak. Sebab ujiannya juga tak ringan.
Maka yang terpenting, lihatlah pernikahan secara menyeluruh dan miliki ilmu sebelum bergegas menggenapkan ibadah muia itu. Bukan soal ujiannya, karena itu kepastian. Bahkan tak menikah pun, ada ujiannya sendiri. Ini lebih pada bagaimana menyikapi ujian pernikahan yang memang akan selalu ada dan bertambah.
Jadi, pernikahan bukan hanya tentang bahagia. Tapi juga tentang sedih yang menyayat hati dan dibutuhkan ilmu tuk menyikapinya.
Belum lagi jika tiba-tiba seorang istri membawa wanita lain, kemudian berkata kepada suaminya, “Mas, jadikan ia sebagai sahabatku, istri keduamu.”