Alangkah bahagianya pasangan yang tengah dimabuk rindu ini. Tak lama menjalin interaksi, keduanya memutuskan untuk menikah. Si wanita yang mengharap ridha Allah Ta’ala memutuskan menerima pinangan laki-laki asal kota apel. Satu di antara alasannya, laki-laki yang melamar dengan gagah itu memiliki kemiripan berupa aktif di berbagai aksi sosial.
Dihelatlah walimah nikahan. Seadanya. Dua insan yang tertaut hatinya ini dimabuk rindu. Memadu kasih dalam naungan halal nan diberkahi oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Dalam kurun waktu dua bulan kemudian, keduanya banyak berpindah ke satu lokasi ke lokasi lain. Kadang di daerah asal suami, kadang di daerah kelahiran istri, kadang di tempat lain. Hanya berdua. Menikmati indahnya bunga-bunga cinta dan buah-buah rindu yang semakin nikmat untuk dirasakan. Tak tergambarkan.
Sebagai buah cintanya pula, si istri dinyatakan positif hamil. Alangkah bahagianya. Hampir bersamaan, sang istri mendapat kabar gembira, diangkat jabatannya dan ditempatkan untuk mengajar di Bali. Segera saja, dua insan ini mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas, sembari menikmati madu-madu cinta yang belum selesai dikecap rasa manisnya. Bulan madu keduanya pun semakin panjang nan mesra serta lengkap karena ditugaskan ke daerah yang terkenal dengan keelokannya itu.
Lantas, ujian menerpa keduanya. Entah bagaimana kisahnya, si laku-laki meninggalkan istrinya. Bukan karena selingkuh, tapi mendatangi orang tuanya. Barangkali akan menjadi baik jika dibicarakan dengan santun, lalu disepakati solusi terbaik atas apa yang mereka alami.
Keluarga istri sempat kurang menerima, sebab anaknya ditinggal sendirian di rantau. Dalam keadaan hamil tua.
Sejak saat itu, pertengkaran-pertengkaran kecil sering terjadi. Tanpa sebab yang jelas. Masalah semakin rumit ketika sang laki-laki tak bisa menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin bagi istri. Terkesan berat sebelah, bahkan lebih menuruti petuah orang tuanya, meski kurang menguntungkan bagi rumah tangganya.
Padahal, sebagai anak laki-laki, seseorang bisa tetap berbakti kepada orang tuanya tanpa harus mengesampingkan istrinya. Sebab, surga dan nerakanya istri ada di kaki suami, selama kepemimpinanya dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala dan Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Persoalan semakin rumit ketika si anak lahir. Lalu keduanya harus berjauhan lantaran tugas kerja, sementara sang suami tak kuasa memberikan nafkah lahirnya secara layak, bahkan sang istri rela bekerja sebab belum pernah menikmati makanan pemberian suaminya, dari hasil kerjanya.
Diakui atau tidak, masalah yang timbul disebabkan oleh mertua atau orang tua dalam sebuah rumah tangga sering disikapi sambil lalu. Tidak bijaksana. Cenderung memenangkan satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya.
Di sini, harus ada sikap yang jelas dari seorang laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga. Jika tidak, rumah tangga Anda terancam bubar sebagaimana dialami oleh orang ayang baik hatinya dalam tulisan ini.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]