Mari sejenak melupakan rumitnya pernikahan yang disajikan oleh fenomena-fenomena akhir zaman ini. Mari menepi, untuk melihat pernikahan dari sudut pandang yang lebih suci nan mulia. Mari sejenak meneliti betapa agungnya cinta atas nama pernikahan yang diberkahi.
Sepeninggal Ummu Khadijah al-Kubra, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tak berniat untuk menikah lagi. Pesona cinta dan pengorbanan sang Khadijah benar-benar membuat Nabi berpikir tiadanya lagi cinta yang setulus kasih Khadijah.
Lalu datanglah sahabiyah mulia Khaulah binti Hakim kepada Nabi.
“Ya Rasulullah,” sapa Khaulah, “maukah engkau menikah?”
“Dengan siapa?” jawab Nabi dengan tanya.
Khaulah lantas menyebut satu nama. Seorang janda. Anaknya lima. Wanita ini telah memilih Islam sebagai agamanya. Sang suami bernama Sakran bin Amr al-Amiry wafat dalam keadaan Muslim. Sepasang suami-istri nan diberkahi ini merupakan sosok-sosok langka yang bergabung dengan Islam sejak awal dakwah Nabi.
Lantas, bagaimana respons Nabi atas tawaran itu? Sangat mengesankan!
Beliau menyampaikan perintah kepada Khaulah binti Hakim untuk menyampaikan pinangan. Sahabiyah ini pun mendatangi sang wanita mulia. Setelah bergetar mendengar kabar pinangan tersebut, sang muslimah bergegas menemui ayahnya. Memohon restu.
“Sampaikan padanya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam) agar datang ke sini.” jawab sang ayah.
Tak butuh masa yang lama, pernikahan antara dua manusia mulia ini berlangsung. Dipenuhi bahagia dan berkah.
Sang muslimah yang resmi menjadi istri kedua Nabi ini pun menyampaikan kondisinya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Abbas, dia memang memiliki lima atau enam anak. Kemudian, Nabi nan mulia akhlaknya bertutur dengan sangat bijak terkait anak sang istri yang otomatis menjadi anak tirinya.
“Semoga Allah Ta’ala menyayangimu. Sungguh, sebaik-baik wanita adalah yang mampu mengendarai unta. Sebaik-baik perempuan Quraisy adalah yang bersikap lembut terhadap anak di waktu kecil dan merawatnya untuk pasangannya dengan tangannya sendiri.”
Inilah teladan yang kini sering diingkari. Banyak yang membahas pernikahan Nabi dengan istrinya yang perawan, lalu melupakan kisah nyata bahwa beliau juga menikahi wanita yang pernah beristri bahkan beranak lebih dari empat.
Kemudian saat kisah-kisah ini disajikan, ada begitu banyak dalih yang disampaikan.
Bahwa pernikahan memang diberkahi jika dikerjakan atas nama Allah Ta’ala. Bahwa gadis atau sudah pernah menikah adalah pilihan. Menikahi satu di antara dua pilihan ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Dalam kisah pernikahan nan inspiratif ini, sang Muslimah yang tak lain adalah Ummul Mukminin Suadah binti Zum’ah ini membersamai Nabi selama tiga tahun hingga beliau menikahi Ummul Mukminin ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq.
Dalam kisah agung ini, kelak Ummul Mukminin Saudah memberikan jatah malamnya kepada Ummu ‘Asiyah. Beliau memilih sibuk berbibadah hingga terkenal sebagai sosok yang paling rajin bersedekah.
“Tiada seorang pun yang lebih aku kagumi,” aku Ummul Mukminin ‘Aisyah binti Abu Bakar terkait madunya itu, “selain Saudah bin Zum’ah yang sungguh hebat.”
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]
Rujukan: Dialog Jum’at Republika, 29 Juli 2016