Mari duduk sejenak untuk menelaah nasihat orang-orang shaleh yang dipilih oleh Allah Ta’ala sebagai kekasih dan utusan-Nya. Mari belajar dari telaga yang paling murni; yang berasal dari Allah Ta’ala, tanpa manipulasi ataupun bisikan hawa nafsu.
Ibrahim Khalilullah adalah bapak para Nabi. Nabi Ismail dan Ishaq adalah putra terbaik yang kelak melahirkan banyak nabi dan utusan Allah Ta’ala. Dalam kehidupannya, selain terdapat banyak syariat yang dilakukan untuk meneladani mereka dalam beribadah, ada pula pelajaran berharga bagi kita yang akan atau telah menikah.
Setelah Nabi Ibrahim meninggalkan Istri dan anaknya (Nabi Ismail), datanglah Bani Jurhum yang kemudian menetap di lembah yang kelak berdiri Ka’bah. Tumbuh besar, Ismail menjadi sosok terhormat yang paling disegani. Hingga tiba masanya pernikahan Ismail.
Saat Ismail tengah menjemput rezeki dan menunaikan kewajibannya mencari nafkah, datanglah Nabi Ibrahim untuk mencari keluarga yang dulu ditinggalkannya. Setelah mencari-cari, Ibrahim pun menemukan rumah anak yang amat dicintainya itu.
Kepada menantunya (istri Ismail), Ibrahim bertanya, “Bagaimana kehidupan dan keadaanmu?” Jawab si menantu, “Kami berada dalam kondisi buruk. Kami hidup dalam kesusahan dan kesulitan.”
Usai mendengarkan penuturan menantunya, Ibrahim berpesan, “Tolong sampaikan salamku kepada suamimu. Bilang kepadanya agar mengganti ambang pintu.”
Beberapa waktu setelahnya, Ismail pun pulang. “Apakah ada orang yang datang mengunjungiku?” tanya Ismail. Sang istri pun menceritakan kondisi tamunya dengan redaksi yang buruk, kemudian menyampaikan pesan dan salam kepadanya. Lepas itu, Ismail berkata, “Dia adalah ayahku. Aku diperintahkan untuk menceraikanmu. Maka, kembalilah ke orang tuamu.”
Ismail pun menikahi wanita yang lain. Hingga terulanglah peristiwa seperti kejadian yang dialami oleh istri pertamanya.
Saat ditanya, “Bagaimana keadaanmu?” Maka sang istri kedua menjawab, “Kami baik-baik saja dan berkecukupan.”
Lanjut Ibrahim, “Apa yang kalian makan?”
“Daging dan air,” jawab sang istri. Lalu Ibrahim berdoa, “Ya Allah, berkahilah mereka pada daging dan air.”
Ibrahim pun berpamit sembari menyampaikan pesan, “Sampaikan salamku pada suamimu. Tolong sampaikan pula agar ia menguatkan ambang pintunya.”
Saat pulang, Ismail bertanya, “Apakah ada yang mengunjungiku?”
“Iya,” jawab sang istri, “orang tua yang bernampilan sangat bagus. Ia bertanya tentang kehidupan kita, dan kujawab bahwa kita baik-baik saja.”
“Kemudian,” lanjut sang istri, “ia menitipkan salam dan pesan agar kau menguatkan ambang pintumu.”
Ismail pun menjelaskan siapa tamunya, dan maksud dari pesan yang ia sampaikan.
***
Terhadap istri pertama, ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil mengapa Nabi Ibrahim sebagai mertua sekaligus utusan Allah Ta’ala memerintahkan anaknya agar Nabi Ismail menceraikan istrinya.
Pertama, si istri mudah menceritakan kepahitan hidup yang dialami kepada orang belum yang dikenal. Ini sangat bahaya; selain kufur nikmat, bisa mengundang orang lain yang buruk hatinya hingga ia memperkeruh suasana rumah tangga.
Kedua, si istri pandai melihat keburukan orang lain. Bahkan, meski tidak tahu, terhadap mertuanya ia menyampaikan keburukan dengan perkataan, “Orang tua yang buruk kondisinya.”
Sedangkan pada istri kedua, kita dapati sikap sebaliknya; hingga Nabi Ibrahim perintahkan agar pernikahan tersebut dipertahankan.
Ketiga, suami maupun istri, sudah seharusnya menutup rapat-rapat terhadap kepahitan yang dialami, apalagi kepada orang yang belum dikenal. Tentu, menutupi amat berbeda dengan tidak menyelesaikannya. Dan, anggapan bahwa dengan berkisah, maka masalah akan usai adalah sebuah kesalahan besar.
Keempat, bersyukur adalah kunci bahagia. Istri kedua Ismail mengisahkan tamunya sebagai sosok yang berpenampilan bagus. Artinya, ia lebih menonjolkan kelebihan di banding membesarkan kekurangan yang pasti dimiliki oleh orang lain, apalagi pasangan hidup.
Merasa bersyukur akan berujung pada menerima keadaan. Bahwa susah-senang, kurang-cukup, pahit-manis; hanyalah siklus yang dipergilirkan dan akan selesai dengan dua solusi jitu: syukur dan sabar. Alhasil, pasangan suami istri akan sibuk mencari solusi, bukan merutuki masalah. Pun, sibuk mencari kebaikan, daripada repot dengan keburukan.
Kelima, pentingnya menjalin hubungan baik dengan mertua. Ibrahim telah memberi contoh. Sebagai mertua, ia datang untuk menjenguk anak dan menantunya. Ia bertanya sebab ingin mengetahui dan memastikan bahwa anak dan menantunya dalam kebaikan, dan memberi solusi berupa penghargaan dan ‘hukuman’ jika ada yang tidak beres di antara keduanya.
Namun, dalam kisah ini, tak ada sedikit pun teladan untuk melakukan intervensi kepada rumah tangga anak-anak kita. Apalagi jika belum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Maka, yang dilakukan oleh Ibrahim dibenarkan, sebab ia seorang Nabi yang diberi pengetahuan lebih dan ketajaman nurani oleh Allah Ta’ala.
Terakhir, menikah bukan sulap yang bisa sukses dalam hitungan sekejap. Ia adalah sebuah perjalanan panjang ke-saling-an antar suami dan istri. Ialah saling memahami, saling memperbaiki, saling menumbuhkan, dan saling dalam aneka jenis kebaikan lainnya. Hanya dengan itulah, setelah iman dan taqwa, pernikahan akan berjalan dengan baik dan insya Allah bermuara di surganya.
Jika anda belum menikah, kami doakan semoga segera. Dan jika sudah, jangan buru-buru mengganti ambang pintu sebagaimana disarankan oleh Nabi Ibrahim. Sebab, anda bukan Nabi Ismail. [Pirman]
2 Comments
Comments are closed.