Seorang laki-laki muda bertamu pada sebuah siang. Laki-laki itu, jarang berkunjung. Tetapi, orang-orang di rumah itu sudah akrab dengan namanya. Sebabnya, nama si laki-laki berperawakan agak gemuk dan hitam ini sering disebut-sebut oleh salah satu anggota keluarga di rumah nan sederhana yang belum kelar dicicil itu.
Si laki-laki, tak lain adalah pacar si anggota keluarga yang kerap menyebut namanya. Bukan saja menyebut, si anggota keluarga itu sering memuja-muji, menyanjung, dan memosisikan laki-laki yang dikenalnya bertahun-tahun lalu pada posisi yang mulia. Bahkan, si laki-laki itu sering dianggap lebih berjasa di banding ibu si anggota keluarga.
Lalu, kunjungan si laki-laki di sebuah malam, adalah sebuah penegasan, dan barangkali ‘tantangan’ dari si anggota keluarga; saya tidak main-main, saya ingin mengenalkannya. Tapi maaf, saya tidak akan mau disuruh menikah dalam waktu dekat; saya ingin menikmati masa lajang dulu, memandirikan diri, memaksimalkan potensi, barulah saya akan menghabiskan waktu dengan laki-laki itu dalam hidup pernikahan.
Sebab si laki-laki adalah tamu, maka seluruh anggota keluarganya pun menyambutnya layaknya tamu. Disilakan duduk, diajak ngobrol, disediakan minuman dan makanan, dan sambutan-sambutan lain layaknya tamu pada umumnya.
Tak lama, sebab si anggota keluarga dan si laki-laki telah merencanakan kunjungan itu, si anggota keluarga sudah siap untuk pergi. Tidak sendiri, tapi berdua dalam satu kendaraan yang dikendarai laki-laki itu. Berboncengan.
Pemandangan di atas, mungkin saja sudah sangat umum di masyarakat kita. Pacaran. Si laki-laki datang, dijamu, lalu mengajak pacarnya pergi. Jalan. Berdua. Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu. Apalagi jika kita melihatnya dari sudut pandang Islam yang menjadi agama terbaik anutan kita dari lahir hingga akhir zaman kelak, insya Allah.
Berdua-duaan yang bukan muhrim, disepakati oleh ulama sebagai perbuatan haram. Hal itu juga menjadi jalan bagi setan untuk membisikan godaannya. Awalnya, saling pandang. Selanjutnya, mulai sering berduaan, memandang agak lama, bersentuhan, dan sampai pada perbuatan-perbuatan lain yang melanggar aturan syariat Islam.
Kesemuanya itu tergolong dalam satu pasal maksiat, yang jika dikerucutkan menjadi zina. Ialah perbuatan keji yang keharamannya tidak diperdebatkan oleh ulama mana pun.
Maka, jika ada laki-laki sebagaimana kisah di atas, secara tidak langsung, ia berkata kepada Anda, “Pak, Bu, izinkan saya berzina dengan putri Anda…” Kira-kira, bagaimana pendapat Anda? [Pirman/Kisahikmah]
1 Comment
Comments are closed.