Diantara bukti cinta seseorang kepada pasangannya adalah tersampaikanlah pujian yang tulus atas kebaikan yang selama ini dipersembahkan. Kebaikan seseorang kepada pasangannya, tidak selalu berbentuk besar jika diukur secara materi. Bahkan, hal-hal kecil nan inspiratif, bisa terngiang jelas dalam kesan ketika pelakunya tulus dalam lontarkan puji.
Sayangnya, pujian antara mereka yang sudah menikah seringkali tak bertahan lama. Pasalnya, madu pernikahan hanya ada di beberapa bulan pertama selepas akad atau tahun-tahun awal saat cinta baru bermekaran di hati kedua pasangan yang dimabuk rindu itu.
Padahal, pujian yang tulus adalah bahan bakar yang bisa menyebabkan kendaraan cinta melaju dengan sehat, tak mudah aus mesinnya dan senantiasa nikmat untuk ditunggangi. Ibarat sebuah tubuh, pujian yang ikhlas adalah makanan bergizi yang menyehatkan.
Tentu, hal ini berlaku untuk semua pasangan. Hanya kadar dan bentuknya yang berbeda. Maka mustahil jika ada mereka yang berkata tak perlu puji, yang penting aksi. Padahal, sejatinya kalimat itu adalah pembelaan sebab dirinya memang kurang piawai kibarkan puji kepada pasangan yang dicintainya. Atau, mereka sudah terbiasa memuji dengan laku, bukan kata-kata.
Mungkin, saat dipuji, pasangan kita akan sertamerta berkata bahwa itu gombal belaka. Mungkin, benar adanya; gombal. Namun, adakah teks atau norma kebaikan yang melarang gombal dalam berumahtangga? Tidak ada, kan?! Maka gombal kepada pasangan tak ada salahnya.
Justru, meski terkesan gombal, ia ibarat hiburan di tengah gegap gempita kebisingan dunia yang memekakan telinga kemanusiaan diri. Meski gombal, pujian adalah sebentuk pengakuan bahwa pasangannya telah melakukan kebaikan pada dirinya. Jika pun gombal, ia adalah oase di tengah sahara kehidupan yang makin panas dan tak beradab ini.
Bagi mereka yang belum menyadari ini, barangkali perlu banyak belajar. Sebab, konsekuensi terburuk dari miskin atau tiadanya pujian dari seorang pasangan, maka yang paling mungkin adalah pasangannya itu akan dipuji oleh orang lain.
Jika ini terjadi dan berkelanjutan, aduhai malangnya; pasangan itu akan nyaman dan akhirnya membutuhkan pujian dari orang tersebut.
Tentu, yang sudah terbiasa memuji pun, tak layak bercukup apalagi berbangga. Sebab, layaknya sebuah ilmu, kehidupan seseorang senantiasa meningkat. Pun, dengan memuji. Ada seninya, ada caranya, banyak kaidahnya.
Bisalah peningkatan itu dimulai dengan kuantitas memuji. Utamanya selepas pasangan kita melakukan kebaikan, atau tatkala momen spesial.
Misalnya, ketika anda sedang bekerja, kemudian sang istri sediakan kopi panas kental manis, jangan segan untuk tatap matanya dalam-dalam, sentuh dan cium tangannya dengan sepenuh hati, lanjutkan dengan kecupan kecil di keningnya, sembari berucap, “Terimakasih, Cinta. Moga kau semakin disayang Allah.”
Pujilah ia dengan tulus, sebelum ada orang lain yang memujinya secara menggebu-gebu sebab ada kotor dalam kalbunya. [Pirman]