Cerai bukanlah pilihan mula-mula. Namun, banyak perkara yang membuat seorang manusia memilih jalan halal, meski dibenci oleh Allah Ta’ala ini. Sebab, berlama-lama dalam kezaliman antara satu dengan yang lain dalam naungan rumah tangga lebih menyakitkan di banding hidup seorang diri sebagai duda ataupun janda.
Inilah jalan yang akhirnya dipilih oleh seorang Muslimah. Susah payah mempertahankan bahtera yang dibangun, pil pahit bernama cerai pun diambil setelah masa dua tahun pernikahan. Berat. Tapi harus dijalani.
Setelah masa itu, ia pun menjadi penopang hidup keluarga. Membiayai kehidupan satu anak, satu adik, dan ibunya yang sudah sepuh. Ia mengerjakan ragam usaha yang bisa dilakukan. Mulai berjualan hingga membuat kue-kue dan keterampilan lainnya.
Waktu pun bergulir, datanglah seorang laki-laki. Hendak melamar si janda. Mulanya dilema. Apalagi, bayangan kegagalan dengan suami pertama masih menggelayut. Tak langsung dijawab, si Muslimah pun bermusyawarah dengan keluarga dan meminta petunjuk kepada Allah Ta’ala melalui istikharah.
Akhirnya, demi menjaga diri, mengingat selama menjanda banyak laki-laki tak berakhlak yang menghampiri untuk sekadar menggoda bahkan mengajak pada perbuatan zina, maka diterimalah lamaran laki-laki itu. “Meski dimadu,” katanya tulus, “saya ikhlas. Demi menjaga diri dari godaan zina yang ditawarkan oleh laki-laki tak tahu agama di sekitar saya.”
Kadang, pilihan itu sukar. Dambaannya, tentu saja menikah dengan laki-laki yang belum pernah menjalin hubungan pernikahan, atau duda yang memang hidup sendiri. Tapi, takdir itu bukan kuasa kita. Kehadiran laki-laki bersuami pun, tak bisa dielakkan. Kita bisa memilih, tapi tak bisa mengendalikan takdir.
Beruntungnya, wanita ini memilih berdasarkan pandangan ruhani. Ia tidak menerima lamaran laki-laki itu hanya karena kaya dan tampangnya, tapi karena agamanya. “Dia datang untuk melamar. Dan saya menerima.” Alasannya, “Karena saya melihat, dia merupakan laki-laki yang menjaga shalat.”
Sesederhana itu. Lantaran menjaga shalat. Pungkasnya sampaikan pengamatan, “Jika hubungannya dengan Allah Ta’ala saja dijaga, besar kemungkinannya bahwa dia merupakan orang shalih yang baik kualitas interaksinya dengan sesama.”
Seperti itulah seharusnya pilihan jodoh kita tambatkan. Bukan hanya lantaran kaya, tampan atau cantik, pekerjaan atau usaha yang mapan, apalagi sekadar karena lama berpacaran. Pilihan yang berkualitas biasanya dialamatkan kepada mereka yang baik hubungannya dengan Allah Ta’ala. Hubungan itulah yang menjadi pemicu baiknya interaksi dengan sesama manusia dan makhluk semesta.
Semoga si Muslimah ini kuat menjalani takdirnya sebagai istri kedua. Sebab tak mudah. Sebab setan dan bala tentaranya akan senantiasa menggoda.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]