Tak ada satu pun manusia normal yang menghendaki perceraian dari pernikahan yang dia jalani. Tidaklah seseorang memutuskan untuk menikah atau dinikahi, kecuali berharap bahagia dalam sisa hidup bersama pasangan, keluarga baru, dan buah hati yang diharap kehadirannya.
Namun fakta berkata, betapa banyak pernikahan yang justru berujung pada duka. Dizalimi selama menjalani kehidupan berdua lantas bercerai dengan cara yang tidak baik saat anak-anak buah cinta hadir ke tengah-tengah kehidupan mereka.
Menyedihkan.
Wanita ini tidak mengira akan seperti ini kesudahannya. Ia memutuskan memilih pinangan seorang laki-laki di usianya yang baru beranjak dari angka dua puluhan. Mantap menikah dengan harapan kebaikan yang teramat penuh.
Lantas hubungan pacaran itu diakhiri setelah masa yang lumayan lama, dalam bilangan delapan belas bulan atau satu setengah tahun.
Bukan masa yang sejenak, tentunya. Namun faktanya, pacaran memang tidak menjadi jaminan kebahagiaan setelah menikah. Lamanya pacaran pun tidak menjamin langgengnya pernikahan hingga salah satu di antara pasangan atau keduanya meninggal dunia.
Berupaya sabar, nyatanya percuma. Kelakuan si suami tak kunjung berubah. Laki-laki asal pulau seberang ini memiliki tabiat yang aneh dan amat menyakitkan bagi istrinya.
Laki-laki yang senantiasa tampakkan kelembutan semasa pacaran satu setengah tahun itu, ternyata bersikap kasar sejak awal menikah. Setelah keduanya berpindah ke kontrakan, tabiat buruknya ini terbaca, setelah keduanya menjalani hubungan yang tiada pernah dikerjakan sebelumnya.
Ia, laki-laki itu, mendaratkan tangan di pipi, pinggul, dan bagian tubuh lain istrinya. Menampar, memukul, menendang, berteriak. Bak kesurupan. Seperti kesetanan.
Ironisnya, kekasaran itu tidak hanya dikerjakan sebelum berhubungan (jima’). Si laki-laki terus mengerjakan tindakan kejinya di sepanjang ‘itu’ sampai akhir, lantas tertidur.
Sang istri, mulanya berupaya sabar. Dia juga tidak mengisahkan pengalaman hidupnya kepada orang tua. Pikirnya, itu ujian rumah tangga yang harus dijaga. Harus diselesaikan berdua dengan pasangannya.
Sayangnya, semakin sering berupaya justru semakin menemukan jalan buntu. Si suami tak berubah. Terus seperti itu hingga lahirnya sang anak pertama.
Tak lama setelah si bayi menatap dunia, sang istri berteguh hati melayangkan gugatan cerai. Ia pikir, hidup sendiri jauh lebih baik dengan sang buah hati daripada disakiti sepanjang siang dan malam.
Wanita ini pun harus berdamai dengan diri dan hatinya, sebab trauma masih menggelayut di dalam dirinya hingga masa dua setengah tahun lepas percerain itu.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]