Featured Keuangan

Jangan Kaget, Istri Urutan Kedua dalam Kewajiban Nafkah

urutan nafkah

Banyak orang mengira istri adalah orang pertama yang wajib dinafkahi oleh suami. Benarkah demikian? Mari kita simak prioritas urutan nafkah menurut para ulama. Kita mulai dari jenis-jenis nafkah.

Jenis Nafkah

Dalam fiqih, nafkah ada beberapa macam. Nafkah-nafkah ini bisa digolongkan dalam dua golongan besar. Pertama, nafkah yang wajib dikeluarkan seseorang untuk dirinya sendiri. Kedua, nafkah yang wajib dikeluarkan untuk orang/pihak lain. Nah, nafkah untuk orang/pihak lain ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian; nafkah sebab pernikahan, nafkah sebab kekerabatan, dan nafkah sebab kepemilikan. Setiap bagian memiliki penjelasan tersendiri.

1. Nafkah untuk diri sendiri

Nafkah ini harus didahulukan sebelum memberikan nafkah kepada orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَىْءٌ فَلأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَىْءٌ فَلِذِى قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِى قَرَابَتِكَ شَىْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا

Mulailah dari dirimu sendiri, nafkahilah dirimu dengannya. Maka sesungguhnya kelebihannya adalah untuk keluargamu, dan sisa dari untuk keluargamu adalah untuk kerabatmu, kemudian sisanya lagi diinfakkan seterusnya kepada orang lain di sekitarmu. (HR. Muslim)

Imam Muslim memberikan judul bab memulai nafkah dari diri sendiri kemudian keluarga, kemudian kerabat untuk hadits ini. Secara lengkap, Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang laki-laki dari kami akan membebaskan budaknya ketika nanti ia meninggal. Sampailah berita itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau bertanya kepada laki-laki tersebut, “Apakah engkau memiliki harta selain hamba sahayamu itu?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu ia pun melanjutkan, “Siapa yang mau membeli budak ini dariku?”

Lantas Nu’aim bin Abdullah Al-Adwi membelinya seharga 800 dirham. Kemudian laki-laki tersebut membawa uang itu dan menyerahkannya kepada Rasulullah. Beliau kemudian bersabda, “Mulailah dari dirimu sendiri, nafkahilah dirimu dengannya. Maka sesungguhnya kelebihannya adalah untuk keluargamu, dan sisa dari untuk keluargamu adalah untuk kerabatmu, kemudian sisanya lagi diinfakkan seterusnya kepada orang lain di sekitarmu.”

Syaikh Musthafa Al Bugha menjelaskan, menafkahi diri sendiri merupakan kewajiban terendah bagi manusia. “Apabila ia mampu melakukannya, baru dituntut untuk memberi nafkah orang lain,” tulisnya dalam Fiqih Manhaji.

Nafkah yang harus dipenuhi untuk diri sendiri ini mulai dari yang paling primer yakni pakaian dan makanan. Serta kebutuhan yang lain termasuk tempat tinggal.

Baca juga: Tabel 99 Asmaul Husna

2. Nafkah untuk orang lain

Sebab yang menjadikan nafkah ini wajib ada tiga, yaitu pernikahan, hubungan kekerabatan, dan hak kepemimpikan.

a. Nafkah tersebab pernikahan

Yakni nafkah untuk istri. Inilah yang nanti akan kita bahas lebih detail. Mulai dari dalil wajibnya, sebab yang menyebabkannya wajib, syarat menerima nafkah, bagaimana menentukan jumlah nafkah, dan apa yang menyebabkan kewajiban nafkah ini gugur.

b. Nafkah tersebab hubungan kekerabatan

Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang wajib mendapatkan nafkah tersebab hubungan kekerabatan. Menurut madzhab Maliki, orang yang wajib menerima nafkah tersebab kekerabatan adalah ayah, ibu, dan anak.

Menurut madzhab Syafi’i, mereka adalah orang tua ke atas dan anak ke bawah. Jadi kakek, nenek, dan cuku termasuk wajib dinafkahi. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, yang wajib dinafkahi lebih luas lagi, yakni kerabat yang memiliki hubungan mahram. Termasuk saudara kandung, paman, dan bibi. Ada pun menurut madzhab Hanbali, yang wajib dinafkahi adalah kerabat yang berhak mendapatkan warisan.

Kaidah nafkah tersebab hubungan kekerabatan ini adalah siapa yang lapang (kaya), ia wajib memberikan nafkah kepada yang susah (miskin). Misal seseorang yang berstatus sebagai anak sekaligus ayah. Jika ia kaya, sedangkan anaknya miskin dan ayahnya miskin, ia wajib memberikan nafkah kepada anak dan ayahnya. Sebaliknya, jika ia miskin sedangkan anaknya kaya, anaknya wajib memberikan nafkah kepada dirinya.

Bahkan Ibnu Hazm berpendapat, jika ekonomi suami sedang susah sedangkan istrinya kaya, maka istri yang memberi nafkah kepada suaminya tanpa menganggap nafkah itu sebagai utang.

c. Nafkah tersebab hak kepemilikan

Misalnya binatang ternak dan hewan peliharaan. Orang yang memeliharanya harus memberikan nafkah berupa makanan dan minuman. Tidak boleh menyiksanya dan tidak boleh membebaninya dengan beban yang melebihi kesanggupannya. Juga, tidak diperbolehkan mencampur binatang dan pemangsanya (misal ayam dan banteng).

Inilah luar biasanya Islam. Bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama manusia, tetapi juga mengatur hubungan hewan dan alam. Bahkan, hubungan yang baik antara manusia dengan hewan bisa menjadi wasilah masuk surga sedangkan penyiksaan kepada binatang bisa menyebabkan masuk neraka.

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِى هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لاَ هِىَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلاَ هِىَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ

Seorang wanita disiksa di neraka karena ia mengurung seekor kucing tanpa diberi makan hingga mati kelaparan. Tidak juga dilepaskan agar bisa makan dari hewan-hewan tanah yang menjadi makanannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Bahagia Itu Sederhana

Urutan Nafkah

Apabila orang yang membutuhkan nafkah itu jumlahnya banyak, termasuk untuk nafkah karena hubungan kekerabatan, bagaimana urutan nafkah menurut para ulama?

1. Diri sendiri

Yang pertama dan harus didahulukan adalah diri sendiri. Sebagaimana penjelasan di atas, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَىْءٌ فَلأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَىْءٌ فَلِذِى قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِى قَرَابَتِكَ شَىْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا

Mulailah dari dirimu sendiri, nafkahilah dirimu dengannya. Maka sesungguhnya kelebihannya adalah untuk keluargamu, dan sisa dari untuk keluargamu adalah untuk kerabatmu, kemudian sisanya lagi diinfakkan seterusnya kepada orang lain di sekitarmu. (HR. Muslim)

Hikmahnya, ketika hak fisik dan kesehatan seseorang terpenuhi dengan nafkah, ia bisa mencarikan nafkah untuk orang lain. Jika seseorang tidak makan, tidak sehat, dia tidak bisa mencarikan nafkah untuk orang lain.

Baca juga: Surat Yusuf Malam Jumat

2. Istri

Dalam Fiqih Manhaji dijelaskan, nafkah untuk istri tidak akan gugur dengan berlalunya waktu. Hal ini berbeda dengan nafkah untuk orang tua yang bisa gugur ketika orang tuanya kaya. Demikian pula nafkah untuk anak yang bisa gugur ketika anaknya sudah dewasa dan sudah sanggup bekerja. Apalagi jika anak itu kaya.

3. Anak kecil

Ia adalah tanggungan sang ayah. Sebab masih belum bisa bekerja. Apalagi jika dia masih balita, tentu sangat bergantung pada kedua orang tuanya.

4. Ibu

Meskipun sama-sama orang tua, ibu lebih berhak didahulukan daripada ayah karena ada sabda Rasulullah yang menyebut ibu tiga kali baru ayah ketika seseorang bertanya tentang siapa yang paling berhak mendapat kebaikan birrul walidain. Ibulah yang mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidiknya.

5. Ayah

Ayah menjadi prioritas berikutnya dalam kewajiban nafkah. Bersama ibu, ayah yang menjadi wasilah keberadaan manusia di dunia. Ayah pula yang mencarikan nafkah sewaktu sang anak masih belum dewasa.

6. Anak yang sudah besar tapi faqir

Jika seseorang mampu sementara anaknya yang sudah besar –meskipun bekerja- kondisinya faqir atau miskin, orang itu wajib memberikan nafkah kepada anaknya tersebut sebagai prioritas nafkah berikutnya.

7. Kakek

Kakek, yang garisnya di atas ayah, haknya perlu dijaga. Ia harus dihormati sebagaimana menghormati dan memuliakan ayah.

Demikian urutan nafkah yang wajib dipenuhi oleh seseorang berdasarkan kemampuannya. Urutan nafkah ini bersumber dari Fiqih Manhaji, Fiqih Sunnah, dan Fiqih Islam wa Adillatuhu. Penjelasan lengkap tentang pengertian, hukum, hingga bagaimana menentukan besar nafkah untuk istri, silakan baca artikel Nafkah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/KeluargaCinta]