Dalam sebuah perbincangan santai soal rezeki setelah menikah antara seorang istri dengan suaminya, didapatilah dua kesimpulan yang-mungkin saja-akan ditentang banyak orang. Jika sebuah rumah tangga menghendaki rezeki yang tercurah limpah, maka di antara solusinya adalah nambah anak dan nambah istri.
Ungkapan yang menyebutkan ‘banyak anak banyak rezeki’ sudah akrab di telinga kita. Makanya, orang-orang tua kita terdahulu, hampir semuanya memiliki anak dalam jumlah banyak. Jika pun ada yang ditakdirkan tidak memiliki anak kandung, sebagian mereka mengambil jalan mengadopsi anak sebagai anak asuh atau anak angkat.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, di saat zaman sudah disebut semakin canggih, ungkapan yang telah terbukti puluhan tahun ini seakan batal oleh argumen mereka yang mengaku modern. Padahal, sederhananya, Allah Ta’ala mustahil menciptakan makhluk-Nya tanpa dilengkapi rezeki sampai ajalnya datang.
Akhirnya, banyak yang merasa ketakutan dengan hadirnya anak sehingga mengambil jalan membatasi jumlah kelahiran.
Padahal, menempuh jalan ini menjadi sebuah persoalan jika tidak disikapi dengan bijak. Baik terkait hubungan suami-istri yang menjadi sarana pembuahan, atau pun harmonisme pasangan yang lahir karena hubungan itu.
Nah, selain ungkapan pertama ini, ada ungkapan lain yang mengatakan ‘banyak istri banyak rezeki’. Entah darimana asalnya, ungkapan ini lebih banyak disikapi negatif, bahkan ada yang langsung merasa terbakar emosinya ketika membaca atau mendengarnya. Apalagi bagi ibu-ibu yang menganut filosofi ‘kesetiaan sang suami hanya bisa ditunjukkan dengan sekali menikah’.
Sebenarnya, ungkapan yang merupakan turunan dari ‘banyak anak banyak rezeki’ ini bermasalah secara syariat. ‘Banyak’ diartikan lebih dari satu hingga tak terhingga. Jika dinisbatkan kepada anak, maka jumlah banyak amat dibolehkan, asal manajemennya bagus. Apalagi, Rasulullah juga bangga dengan umatnya yang memiliki banyak keturunan.
Tapi, kata ‘banyak’ ini akan sangat bermasalah jika disandingkan dengan kata ‘istri’. Pasalnya, sebagaimana syariat yang telah baku, istri hanya boleh empat. Itu pun batas maksimal. Dan jarang sekali yang mampu mengambil amanah ini dengan amat baik. Merujuk dari hal ini, maka sebaiknya diberi keterangan menjadi ‘empat istri banyak rezeki’.
Tapi, ini juga akan menimbulkan masalah lain. Pasalnya, banyak sekali laki-laki yang hanya melihat poligami hanya dari urusan ranjang. Sebagian lain malah lebih kacau karena mengambil jalur poligami karena bosan dengan istri sebelumnya. Padahal, poligami ini obat; jalan keluar yang diberikan bagi mereka yang membutuhkan, dan harus ‘dikonsumsi’ berdasarkan resep ahlinya.
Alhasil, kita memang harus benar-benar kembali kepada Allah Ta’ala yang telah membolehkan poligami dan Rasulullah yang telah mencontohkan poligami dengan amat benar. Jangan sampai kita menentang apa yang dibolehkan olehnya.
Khawatirnya, penentangan-penentangan itu akan berakibat buruk bagi kehidupan dunia dan akhirat kita.
Jadi, masih sepakat dengan ‘banyak istri banyak rezeki’ atau ‘satu istri berlimpah rezeki’? [Pirman/keluargacinta]