Allah Ta’ala mensyariatkan pernikahan-salah satunya-agar manusia menyalurkan fitrahnya terkait kebutuhan biologis. Ialah aktivitas ibadah berpahala agung, senilai sedekah. Selain melahirkan nikmat, jima’ juga berpengaruh dalam mempertajam fikiran dan menjernihkan ruhani.
Jima’ hanya disyariatkan bagi pasangan suami istri yang menikah secara halal sesuai syariat Islam. Selain itu, jima’ haram. Dihukumi zina. Pelakunya pasti mendapatkan kesialan, kesuraman, dan siksa di akhirat yang abadi.
Meski demikian, jima’ juga bisa menjadi sumber persoalan saat tidak disikapi dengan menggunakan ilmu. Misalnya terkait posisi. Jika suami dan istri monoton dan salah satu pihak tidak ridha, jima’ menjadi persoalan lantaran pihak yang tidak ridha itu membutuhkan variasi.
Beruntung, Allah Ta’ala Yang Menciptakan sudah mengatur soal variasi ini dengan sangat baik. Ia sudah disebutkan dengan jelas di dalam al-Qur’an, hadits Nabi, dan penjelasan para ulama.
Terkait posisi ini, ada satu gaya yang didiskreditkan oleh mereka yang mengaku atau dijuluki pakar. “Sebagian pakar menganggap posisi ini kurang baik karena banyak membutuhkan tenaga.” kutip Ustadz Abu Umar Basyir dalam Sutra Ungu.
Dalam posisi ini, seorang istri membutuhkan tenaga untuk menahan kakinya agar berada di atas selama suami melakukan ‘tugas’nya. Dan suami juga harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melakukan ‘tugas’ serta menahan kaki istri saat diletakkan di bahunya.
Namun demikian, salah satu ulama berpendaat bahwa posisi ini merupakan yang terbaik karena sesuai fitrah penciptaan laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki sudah seharusnya menjadi pemimpin (berada di atas) dan istri taat kepada perintah pemimpin (dengan berada di bawah).
Ialah Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang menjelaskan dalam Thib an-Nabawi, “Cara jima’ terbaik ialah posisi suami berada di atas istri dengan menggunakannya (istri) sebagai kasur. Tentunya setelah keduanya melakukan ‘pemanasan’ terlebih dahulu.”
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan posisi ini sebagai yang terbaik karena memudahkan pasangan untuk memiliki anak. Karena air mani yang keluar bisa masuk seluruhnya hingga memudahkan terjadinya pembuahan.
Tentunya, meski terbaik menurut ulama, hal ini tidak menutup kemungkinan bagi masing-masing pasangan untuk melakukan variasi sesuai dengan kesepakatan. Apalagi al-Qur’an telah mengizinkan dengan sangat jelas. Variasi memang bisa menghasilkan sensasi yang berbeda. Sebab memang, jima’ dijadikan sebagai rekreasi sah, halal, dan berkah bagi pasangan suami istri.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]