Pagi itu, kami bertemu dengan seorang laki-laki di kantor Imigrasi Kota Tangerang. Lima bersaudara. Dia anak ketiga. Dua adiknya perempuan. Satu sudah menikah, menetap di Subang Jawa Barat. Sedangkan yang satunya baru saja cerai. Adik perempuan keduanya itu, memiliki satu anak. Tetapi, berdasarkan penuturannya, “Saya yang mengurusnya sejak umurnya delapan bulan.” Padahal, lelaki berhidung mancung dengan kulit gelap ini belum menikah.
Dengan santai, ia berseloroh saat ditanya, “Ya, abang anggap ini sebagai latihan saja. Supaya terbiasa kalau nanti menikah dan diamanahi anak.” Berdasarkan penuturannya, ia begitu menyayangi keponakannya itu, hingga mengetahui semua kebutuhan dan sanggup mengenali apa yang menjadi keinginannya. Ia, telah menganggap anak adiknya itu bak anak sendiri.
Di antara hal menarik dari kisah lelaki berambut agak panjang yang dibelah pinggir ini, adalah apa yang terjadi pada adik keduanya itu. Rupanya, “Adik saya itu nikah di bawah tangan, Mas. Siri.”
“Padahal,” lanjutnya bertutur tanpa diminta, “saya tidak setuju.” Jelasnya kemudian, “Saya sudah menyelidiki lelaki asal Jakarta Barat ini.” Ia pun menyebut bahwa calon adik iparnya itu sering menenggak minuman keras.
Namun, yang paling menarik dari semua penuturannya, menurut hemat penulis, adalah kejadian saat sang ibu berikan peringatan kepada anak bungsunya itu. Ibu yang firasatnya amat tajam ini berkata, “Kalau bisa, cari yang lain. Hati ibu gak sreg.”
Tetapi, cinta memang buta. Sudah terlanjur jatuh hati. Anak gadisnya yang bungsu itu nekat, hingga mereka pun nikah diam-diam tanpa melapor ke Kantor Urusan Agama setempat. Dan, yang menjadi bukti dari firasat ibunya adalah kejadian setelah mereka dikaruniai satu anak perempuan nan lucu. “Selain tukang mabuk, lelaki itu kerap main tangan. Badan adik saya biru-biru sebab dipukuli,” tutur sosok yang berkisah sembari sibuk memainkan ponselnya ini.
Atas kisah ini, hendaknya kita mengambil pelajaran yang amat berharga tentang ridha orang tua. Mereka yang telah mengandung dan melahirkan kita pastilah mengetahui bagaimana kita-selaku buah hatinya. Sebab memang, orang tua lebih mengetahui karakter asasi kita dibanding pengetahuan kita atas diri sendiri.
Karenanya, bersikap bijaklah. Setidaknya, berusahalah untuk bijak. Siapa pun lelaki atau perempuan yang hendak menjadi calon pendamping hidupmu, mintalah pendapat dari ayah dan ibumu. Jika mereka sepakat, itu adalah sebuah kebaikan. Dan jika menolak dengan alasan yang benar, maka ikutilah pendapatnya sebagai wujud bakti.
Tetapi, jika penolakannya tanpa alasan, cobalah berdiskusi. Sebab orang tua juga tidak mungkin selalu benar. Nah, ketika kita sudah terlanjur mencintainya, tetapi orang tua tidak sepakat, cobalah tundukkan ego dan tanyakan sebab ketidaksetujuannya dengan cara yang santun. Barulah setelah itu mengambil tindakan. Ingat, jika tidak mau menyesal dalam memilih pasangan hidup, kuncinya dua hal; musyawarah dan istikharah. [Pirman/Keluargacinta]