Rumah tangga terasa nikmat sebab terdapat ujian di dalamnya. Sebagaimana musim hujan yang terasa menyejukkan sebab didahului kemarau panjang, atau masa berbuka yang penuh kerinduan sebab seharian menahan lapar mencekik dan haus tak tertahankan. Persis pula seperti indahnya putih, sebab sebelumnya kita melihat hitam.
Bahkan, rumah tangga Nabi pun mengalami ujian. Beliau yang mulia dan bergerlar suami terbaik sedunia pun pernah mendapati istri-istrinya marah, membantah, bahkan mendiamkan beliau selama sehari-semalam. Dalam peristiwa lain, para istri yang salehah itu juga pernah menggalang aksi untuk meminta kenaikan uang belanja.
Lantas, apakah istri-istri kita tak layak marah jika istri Nabi saja ngambek? Padahal, kualitas kita dan istri sangat tak sepadan dengan kualitas Nabi dan istri-istrinya? Lalu, jika istri-istri Nabi yang salehah saja marah, apakah kita akan mengklaim bahwa istri kita yang marah itu sebagai sosok yang tak salehah?
‘Umar bin Khaththab mengetahui kabar kemarahan para istri Nabi dan aksi mereka mendiamkan manusia teladan sepanjang zaman itu. Maka, beliau pun mendatangi Hafshah, istri Nabi yang merupakan anaknya.
“Apakah kamu membantah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?” tanya ‘Umar kepada Ummul Mu’minin Hafshah.
“Ya,” jawabnya singkat.
“Apakah,” lanjut ‘Umar seperti melakukan interogasi, “salah satu di antara kalian marah kepada beliau sehari-semalam?”
Jawab Hafshah yang terkenal rajin Tahajjud dan puasa ini, “Ya.”
“Sungguh,” ungkap ‘Umar tegas, “merugilah bagi siapa pun yang berbuat demikian! Apakah salah seorang dari kalian merasa aman jika Allah Ta’ala marah dikarenakan marahnya Rasulullah? Maka sungguh, ia telah celaka.”
“Dan,” pesan ‘Umar kepada Ibunda Hafshah, “janganlah kamu meminta apa pun kepada beliau. Mintalah padaku dari apa yang kamu perlukan.”
Riwayat ini shahih. Dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i. Kemudian, ‘Umar pun mendatangi Nabi dan menyampaikan apa yang baru saja dilakukannya kepada Hafshah. Mendengar penuturan ‘Umar, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muhammad ‘Ali Hasyimi dalam Membentuk Pribadi Muslim Ideal, “Rasulullah pun tersenyum.”
Sebagai seorang suami, riwayat ini adalah sebuah penegasan agar kita bersikap bijak terhadap istri dan mengikuti sesuatu yang menjadi tabiatnya. Bahwa mereka memiliki sifat seperti tulang rusuk; dibiarkan semakin bengkok, diluruskan paksa bisa berakibat patah.
Maka, pelajarilah karakternya dengan serius. Tulis dan camkan baik-baik hal-hal yang membuat hatinya berbunga, dan lakukan itu sesering mungkin. Serta, daftarlah segala hal yang tidak disukainya, kemudian enyahkan sejauh-jauhnya darinya.
Tentunya, kesemua hal itu harus dalam kerangka besar penghambaan seseorang kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai menyelisihi apa yang telah disyariatkan-Nya.
Namun, riwayat ini bukan pembenaran bagi seorang istri untuk mudah atau sering marah-marah tanpa alasan kepada suaminya. 😀 [Pirman/Keluargacinta]È